It's Ok to be Not Okey in New Normal

Beberapa hari yang lalu Indonesia merayakan hari kemerdekaan yang ke-75. Namun, perayaan kali ini berbeda. Jika bertanya kenapa, saya pikir semua sudah tahu jawabannya. But, It's ok!. Mungkin kata ini yang bisa sedikit menenangkan. Lebih lengkap lagi it's ok to be not okey.


Meskipun berbeda dari biasanya, mengingat para pejuaang tidak hanya diharuskan pada satu hari tertentu. Tetapi, bisa dihari yang lain. Kitapun bisa mengingatnya dalam bentuk yang beragam salah satunya melalui tulisan. Bukan hanya dengan berbagai macam perlombaan seperti pada umumnya.
Berbicara kata it's ok ini adalah kata yang sering saya pakai ketika diri merasa not okay. It's ok to be not okay. Terkadang, kita memang perlu topeng dalam diri untuk bisa menutupi hal yang memang orang lain tidak perlu tahu. Biasanya, prilaku ini seringkali dimiliki pada mereka yang bersifat introvert.
It's ok to be not ok, ternyata ini adalah sebuah judul dari perfilman korea. Biasanya, film korea tidak pernah jauh dari drama percintaan yang katanya berhasil membuat melting atau bahasa kekiniannya baper. Film its ok sendiri saya belum menontonnya. Akan tetapi, dari review yang ada konon cerita dari judul fipm tersebut adalah mengisahkan tentang seorang adik yang merawat kakaknya yang autis. 
Berbicara tentang autis berarti juga berbicara tentang kesehatan mental. Penyebab autis sendiri belum diketahui secara persis. Namun, beberapa ahli mengutarakan bahwa anak yang lahir dalam keadaan prematur memiliki kemungkinan akan mengalami ganguan mental tersebut.
Seperti yang sudah saya paparkan sebelumnya, terkadang kita butuh topeng untuk diri kita sendiri. Bahasa kerennya adalah self healing. Kita juga perlu memiliki keterampilan self healing untuk diri kita. Terlebih ketika masa pandemi saat ini. Tidak sedikit orang yang mengalami gangguan jiwa tersebab pandemi yang memberi efek luar biasa dalam segala aspek kehidupan.
Berbicara tentang kesehatan mental dan self healing tentu kental dengan ilmu psikologi, tempo hari saya baru saja membaca kisah salah seorang teman dalam dunia menulis dengan gangguan mentalnya. Ia didiagnosis memiliki kepribadian yang ambang atau bahasa psikologisnya boderline disorder. Tentunya saya sendiri asing mendengarnya. 
Namun, teman saya memaparkan bahwa ia lebih memilih untuk melakukan terapi secara pribadi dibandingkan harus datang ke psikiater dan meminum obat-obatan tertentu. 
Terapi yang dipilih adalah melalui menulis. Jika masih ada yang belum mengetahui bahwa menulis adalah salah satu terapi untuk kesehatan mental, maka melalui tulisan ini saya infokan kembali. Menulis bisa menjadi salah satu alternatif terapi kesehatan mental. 
Maka dari itu, kalian bisa mencoba terapi ini jika merasa kesehatan mental sedikit terganggu.

0 komentar

Terima kasih sudah membaca postingan ini semoga bermanfaat :)