Matarmaja 292
Malang, sebuah kota yang entah mengapa sangat ingin berkunjung ke sana. Bromo adalah salah satu tujuan utamanya, namun sejak dulu masalah pergunungan ini tak akan pernah mendapat restu jika hendak ke sana. Terlebih ke sana dengan teman atau bahkan malah sendirian.
Awal bulan Desember lalu, aku begitu hectic. Keinginan untuk pergi semakin mantap dan yakin. Meski masih bingung, hendak ke mana? Sendirian? Yakin? Berulang kali pertanyaan itu muncul dalam diri. Belum lagi aku harus menyiapkan izin yang akan tembus ke orang tua dan kakak-kakakku. Masalah ijin, aku simpan diakhir. Aku fikirkan dulu tujuan dan akses menuju ke sana.
Beberapa bulan sebelumnya Aku tergabung mengikuti salah satu grup nulis yang membuatku semangat dalam hal tulis menulis. Meski tulisanku masih sangat capruk dan entah layak atau tidak. Entah aku dapat pemikiran dari mana, yang jelas pokoe nulis. Syaratnya cuma itu di grup tersebut.
Dan entah juga dapat pemikiran dari mana, aku berinisiatif bertanya di grup tersebut terkait domisili penduduk grup. Meski hanya mengenal dalam dunia maya, aku sangat berharap mereka adalah orang-orang baik yang Tuhan kirimkan. Beberapa dari mereka aku sudah save kontaknya. Singkatnya, entah bagaimana tepatnya. Dan ternyata, penduduk grup itu ada yang berasal dari Malang.
Liburan semakin dekat di depan mata, beberapa kawanku mengajakku berlibur ke Yogyakarta. Ah malas sekali, aku sudah pernah ke sana. Dan lagi lagi, Malang adalah kota yang terbesit di otakku. Akahirnya, tanpa pikir panjang aku putuskan, aku harus ke Malang. Dengan atau tanpa adanya teman.
Benar-benar nekat!. Iya, ini adalah hal ternekat yang pernah aku lakukan. Aku segera download aplikasi pembelian tiket online dan tak lupa, aku memberi kabar ke grup nulis aku hendak ke Malang, siapa yang mengira mereka merespon. Semakin mantap aku pergi ke sana. Urusan lain-lain belakangan pokoe. Yang penting pergi! Itu fikirku.
Rela begadang demi mendapatkan tiket murah. Tapi faktanya gak ngaruh!. Siang hari, aku mencoba membuka aplikasi pemesanan tiket . Dan tepat sepulang sekolah MA, aku memanfaatkan selang waktu sebelum aku kembali harus mengajar sekolah siang. Waktu menunjukkan pukul 13.20 jam masuk madrasah adalah jam 14.00, satu persatu murid datang dan menyalimi tanganku, tapi aku tak memperdulikan anak-anak. Aku masih sibuk dengan layar berukuran 5x8 cm padahal waktu sudah menunjukkan angka 13.55. Aku acuh, dan got it! Ada tiket tersedia dengan harga 109.000, segera aku meminta maaf kepada anak-anakku. Gurunya sibuk dulu sebentar, tentu saja mereka senang. Karena dengan begitu mereka masih bisa berlama-lama bermain.
Selesai mengisi data di aplikasi dan langkah terakhir adalah pembayaran. Aku tidak mungkin meninggalkan anak-anak untuk keperluan pribadiku, sehingga aku melupakan tanggung jawabku. Beruntunglah, Tuhan mempertemukanku dengan orang-orang baik. Masalah pembayaran bisa kuatasi. Aku minta tolong kepada salah seorang temanku di Bandung dan dia bersedia. Tiket dapat dan aku tak meninggalkan anak-anak. Bahagia rasanya kala itu.
Sumber:doc pribadi
Matarmaja, itu adalah kereta yang akan aku tumpangi. Dengan stasiun pemberhentian yang antah berantah. Aku tak tau satupun nama stasiun yang akan aku lewati kelak. Tapi, teman penaku begitu baik. Dia kelak akan menjemputku, aku tidak begitu exited mendengar ada yang akan menjemput. Ada beberapa alasan, 1. Karena dia seorang laki-laki, 2. Aku baru mengenal dia via udara. Satu-satunya yang aku yakini Tuhan maha baik. Dia tidak akan membiarkan hambanya sendirian. Berulang kali juga aku yakini, jika Dia tidak meridhai perjalananku Dia dengan mudah akan menghambat semuanya. Tapi, ini kebalikan! Semuanya berjalan biasa saja.
26 Desember 2019, pukul 14.00 adalah waktu keberangkatanku ke kota Malang. Aku putuskan berangkat dari rumah pukul 11.00, dan perjalanan kali ini aku sadari kurang prepare. Entah kenapa di fikiranku saat itu hanya masalah bab Shalat. Obat-obatan yang biasanya aku siapkan ketika perjalanan lupa begitu saja.
Aku tiba di stasiun pukul 11.30, beruntung! Angkot yang aku tumpangi adalah tetangga, dia terkenal ngebut jika berkendara. Kali ini, aku harus pastikan. Aku tidak tertinggal kereta, karena itu menyakitkan!. Waktu terus berdetak dan mendekati angka 14.00. Aku bergegas cek in, dalam speaker terdengar kereta Matramaja 292 sebentar lagi tiba. Aku segera bergegas begitu tau kereta yang akan mengantarkanku berlibur tiba.
Aku memasuki gerbong 6 nomor kursi 20A. Yes! Dekat jendela (gumamku girang). Aku akan bersama Matarmaja 292 selama kurang lebih 10-12 jam perjalanan. Ah damn! Betapa bosan aku membayangkan perjalanan itu. Di tempat dudukku tepat berhadapan denganku sudah duduk dengan manis seorang bapak-bapak yang begitu asyik dengan dunianya. Di samping kiriku ada gadis muda berbobot lumayan dan di hadapannya seorang gadis pula yang tak lain adalah kawan dari gadis berbobot itu.
Kereta berjalan, meninggalkan kota Cirebon. Pandanganku hanya terfokus ke arah luar. Sambil sesekali aku bermain gadget-ku mengusir kebosanan. Aku tak mengira, ternyata gadis berbobot ini bukan orang yang canggung!. Dia melemparkan senyum kepadaku, akupun menimpali. Terjadilah percakapan sedikit antara kami "mau kemana?" Tanyanya padaku, "Malang, mbaknya?," jawabku. "Bromo" jawabnya singkat. Dalam hati, itu yang ingin aku tuju!. Tapi sahabat penaku memberikan saran, jangan ke sana.
Stasiun terhenti di kota Tegal, seorang laki-laki tinggi berkulit putih datang menghampiri kursi yang aku duduki. "20B ya," dia bertanya kepadaku yang sedang asik melamun. Beruntung gadis berbobot itu langsung sigap dan mempersilahkan akang jangkung itu duduk di sampingku. Ah, sesak sekali tempat dudukku (aku kembali menggerutu dalam hati).
Si akang jangkung ini langsung di sambut oleh si gadis berbobot, dia tak canggung bertanya hendak kemana si akang ini. Tujuannya kota Semarang ternyata. Aku sibuk memfokuskan pandangan mataku ke luar jendela, menikmati perjalanan. Dan sesekali aku melihat sekeliling gerbong, stasiun apa saja yang akan aku lewati. Sejam kereta itu berlalu meninggalkan Cirebon, aku masih belum menemukan rute perjalanan yang akan aku lalui.
Kereta kembali berhenti, sedikit lengang. Aku bisa berdiri dan mencari tempelan rute kereta. Dan akhirnya ketemu, tapi aku tidak bisa menghafal lebih dari 3 stasiun. Kereta sebentar lagi bergerak. Aku kembali bergegas ke tempat dudukku. Kembali berhadapan dengan bapak-bapak paruh baya yang sinis. Tak ada senyum di mukanya.
Kereta sudah kembali bergerak, dan entah tepatnya di daerah apa, akang jangkung tiba-tiba berdiri dan hengkang dari tempat duduknya. Ku fikir dia mau turun, atau pindah kursi misalnya (ngarep), dan beberapa menit kemudian, di sebelah kiri kereta ada hamparan laut terbentang luas. MaasyaAllah, indah sekali itu laut. Semua penumpang di gerbong 6 mengeluarkan kamera ponselnya untuk sekedar memotret atau bahkan merekam laut itu.
Tak lama, akang itu kembali. Jalannya begitu gemulai. Ternyata dia selesai merekam dan melihat laut tadi. Dia kembali duduk di sampingku, mencolokkan carger hp-nya dan dia menonton bola lewat hpnya.
Tempat dudukku kembali sesak. Aku berharap Semarang segera tiba dan si akang itu segera turun. Atau bahkan bapa-bapa yang duduk di depanku yang turun. Aku sedikit tidak nyaman dengan bapak-bapak ini, dia jorok sekali. Bahkan asik dengan dunianya. Memasang headset dan melihat layar ponsel dan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Aku dan penumpang yang lainnya saling toleh dan melihat aneh. Ini bapak sehat nggak sih?.
Entah berapa kali bapak ini bolak-balik ke kamar mandi. Yang jelae sering. Karena sudah sangat risih, aku memberanikan diri bertanya "bapak, hendak pergi ke mana?" tanyaku, "nganjuk," jawabnya singkat. Dalam hati aku bergumam lagi (harus berapa lama nunggu bapak ini turun). Aku kembali mencari tempelan rute kereta dan ternyata tulisan itu tepat berada di belakangku.
Rute yang harus aku lalui dari aku menginjakkan kakiku di Matarmaja adalah CNP-Babakan-Tegal-Pekalongan-Semarang tawang-Palioso-Solo jebres-Ngawi-Magetan-Madiun- Nganjuk-Kertasono-Kediri-Tulungagung-Ngunut-Blitar-Wlingi-Sumber pucung- Kepanjen-Kota lama- Kota Baru - Malang.
Oke fiks aku harus tahan dengan bapak yang duduk di depanku sekiranya 3-4 jam. Bapak ini juga yang menjadi alasan aku sulit untuk sekedar tidur sebentar di kereta. Beruntung, gadis berbobot itu sering menemani untuk mengobrol.
Tiba di Semarang, akang jangkung turun. Aku fikir aku akan duduk sedikit lega. Ternyata tidak! Pengganti akang itu adalah mas-mas dengan logat jowo yang kental dan badannya berbobot. Fiks, aku terperangkap di pojokan tempat dudukku. Susah untuk bergerak. Lagi, mas ini juga di sapa ramah oleh gadis berbobot itu. Merekapun mengobrol santuy dalam kereta. Aku pura-pura tidur, ku tutupi mukaku dengan jaket sambil menikmati dudukku yang begitu sesak.
Kereta berhenti di stasiun selanjutnya, datanglah lagi penumpang dengan badan berbobot lagi. Sebut saja dia abang-abang berkacamata. Dia duduk sejajar dengan bapak-bapak yang ada di hadapanku.
Dunia saat itu terasa sangat sempit. Bahkan udara juga berebut. Tak lama kemudian, mas jowo pergi ke toilet, aku sedikit lega. Gadis berbobot aku suruh untuk bergeser di sampingku, tukeran tempat duduk dengan mas jowo. Mas jowo kembali dari toilet dan gadis berbobot meminta izin tukar tempat duduk, dia pun bersedia.
Akhirnya, sedikit lega. Aku bisa mengobrol dengan gadis berbobot dan aku tidak jenuh selama perjalanan.
Tiba di Nganjuk, yes! Akhirnya aku terbebas dari bapak-bapak yang membuatku risih sepanjang perjalanan. Tempat duduk akhirnya sedikit lengang. Aku bisa sedikit meluruskan kakiku yang mulai pegal. Tapi kenikmatan itu hanya sesasat. Tiba-tiba si mas jowo pindah tempat duduk menggantikan bapak yang tadi.
Waktu semakin larut, tapi perjalanan kali ini benar-benar tidak membuatku mengantuk!.
Aku sudah mulai tak memperdulikan sekitar. Kakiku sudah sangat sakit. Aku mengambil kesempatan menguasai tempat duduk ketika mas jowo pergi lagi ke toilet. Aku luruskan kakiku ke depan. Menghalangi agar mas jowo tidak duduk di situ (aku menjadi egois, masa bodo pikirku. Toh aku juga gak akan ketemu dia lagi). Dan ternyata, usahaku tidak sia-sia. Mas jowo pindah tempat duduk ke kursi belakang yang kosong.
Aku hanya ingin menyingkirkan abang berbobot supaya pindah tempat duduk juga. Supaya aku bisa leluasa duduk dengan gadis berbobot. Tapi sayangnya, si abang berbobot malah asik tidur sepanjang perjalanan.
Karena tempat duduk agak sedikit lengang, gadis berbobot mengajak temannya duduk bersama kami, duduk di sampingku. Perempuan kurus yang berlogat sunda. Dia begitu cepat akrab denganku. Menceritakan kisahnya dan dunia kerjanya dengan begitu semangat.
Di sebrang sana, kawanku yang hendak menyambut kedatanganku tak hentinya mengingatkan supaya aku bisa turun di stasiun akhir yaitu stasiun Malang. Dengan cara aku berpura-pura tidur. Aku mengiyakan dan menuruti sarannya.
Jam 01.30 atau lebih sedikit, aku pamit dari obrolan dengan gadis kurus berlogat sunda. Mau pura-pura tidur kataku. Dan siapa yang mengira, aku benar-benar tidur. Bukan pura-pura.
Aku terbangun di stasiun kepanjen, gadis berbobot tiba-tiba berucap begitu semangat "ka, kaka lolos," aku masih belum sadar dengan perkataannya. Apa yang lolos?. Akupun bertanya "kita sudah sampai mana?", "Ini sudah mau kota lama ka". Baru sadar! Maksud ucapan gadis berbobot tadi. Aku bisa turun di stasiun pemberhentian terakhir. Semua berjakan sesuai rencana.
Hingga pemberhentian terakhir, aku tidak sendiri sepanjang perjalanan. Aku masuk rombongan anak muda yang nekat berlibur. Hingga turun dari kereta kita saling tunggu hingga akhirnua berpisah di musola stasiun.
Ada pelajaran yang aku dapat dari sebuah perjalanan itu, Dia tidak mungkin tidak memberikan maksud atas segala yang aku alami sepanjang perjalanan. Aku bertemu dan meninggalkan orang baru.
Selamat tinggal Matarmaja, senang bisa ditemani. Sampai berjumpa kembali di perjalanan berikutnya. Terimakasih.
Ruang tamu, 09-01-2020:17.52
2 komentar
Bs jd segini panjang ternyata... Padahal.belum obok2 malang ny 🤣
ReplyDeleteNnt ditulis yang pas di malangnya
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca postingan ini semoga bermanfaat :)