Ketika mendengar kata yang berasal dari kata baca, entah mengapa otak seolah sudah tersetting dengan peristiwa turunnya wahyu pertama kepada rasulullah yaitu iqra atau read atau baca. Sebuah perintah yang membuat rasul pun bingung. Apa maksud iqra itu.
Dari berbagai refrensi buku dan kitab yang pernah saya baca, makna kalimat iqra adalah bacalah
semua yang ada disekitar bukan hanya buku bacaan. Tapi,kita juga harus bisa
membaca situasi serta kondisi yang ada disekitar agar diri menjadi pribadi yang
lebih peka.
Namun, melihat zaman yang sudah sangat canggih membuat kegiatan
baca membaca banyak ditinggalkan. Semua lebih memilih memegang gadget yang pas
di saku dan tidak merepotkan untuk dibawa kemana-mana dibandingkan harus memegang
buku dengan berbagai macam ukuran dan tentunya membuat repot.
Padahal dengan gadget yang sangat canggih saat ini, para pegiat
literasi tidak diam dan berpangku tangan. Kini, membaca tidak serepot dulu. Tinggal
klik dan kita bisa menikmati bacaan tanpa repot harus membawa buku dan tentunya
rawan buku itu tertinggal terutama bagi mereka yang pelupa. Sayangnya, pemilik
gadget lebih memilih membuka aplikasi lain dibandingkan membuka e-book atau
aplikasi membaca lain.
“Jika kamu ingin mengetahui dunia maka membacalah” kurang lebih
begitu redaksinya. Sebuah quote yang saya dapati dari sebuah bacaan beberapa
waktu silam dan sampai sekrang menghujam dalam ingatan.
Bagi saya, membaca seolah sedang berjalan-jalan tapi raga berada di
tempat. Quote di atas benar-benar terbukti. Dengan membaca, kita bisa mengetahui
kondisi di luar sana yang tidak terjangkau oleh mata.
Berbicara tentang membaca buku, sejak duduk di bangku SMA saya
lebih suka membaca buku genre non fiksi tepatnya tentang buku motivasi atau
buku psikologi.
Ketika membaca buku, saya tidak pernah memperdulikan siapa penulis buku dari buku tersebut. Yang terpenting bagi saya adalah manfaat apa yang
diterima setelah membaca buku tersebut. Hal ini yang terkadang membuat lucu
ketika berbincang dengan mereka pecinta buku. Dalam dialog bersama mereka
pastilah terlontar sebuah pertanyaan buku karangan siapa? Dan saya hanya bisa menjawab
judul, ukuran buku serta cover yang terekam dalam memori. Hal tersebut ternyata
membuat seorang teman berkata “lain kali ingat-ingat ya penulisnya”. Saya hanya
menjawab dengan senyuman dan bergumam “nggak janji”.
Lalu, jika ada yang bertanya apa buku favoritmu ? Sejujurnya saya
tidak memiliki buku favorit. Tapi, selalu mendapatkan penggalan kata-kata yang
membuat takjub dari buku yang dibaca.
Jika dahulu saya hanya terus tertarik dengan berbagai macam buku
non fiksi, kini tidak lagi. Karena ternyata buku fiksi juga banyak yang
memberikan informasi dan manfaat. Ada satu buku fiksi sejarah yang baru saja
selesai kubaca beberapa hari yang lalu. Buku tersebut adalah buku fiksi sejarah
pertama yang dibaca. Sebuah buku karangan ustaz Salim A Fillah berjudul “Sang
Pangera dan Janissary Terakhir”. Buku yang benar-benar tidak hanya memberikan
informasi sejarah perjuangan tapi buku paket komplit yang merangkum kisah,
kasih dan selisih.
Ketika membacanya saya seringkali melipat halaman yang di dalamnya
terdapat kalimat semangat atau bahkan tamparan. Salah satu cuplikan kalimat
tersebut adalah “ Tempat yang paling berbahaya adalah tempat yang paling aman.”
Kalimat yang mengandung makna bahwa sekiranya jangan pernah kita merasa nyaman
sehingga membuat diri merasa aman dan terlena yang ternyata itu adalah tempat
yang paling berbahaya.
So, mari membaca, buka cakrawala dunia. Salam literasi :D
1 komentar
Salami terasi nook. Eh literasi maksudnyaaa. Hihii.
ReplyDeleteAku jg bingung kalau ditanya buku favorit. Banyaaak banget buku favoritku
Terima kasih sudah membaca postingan ini semoga bermanfaat :)