Dalam gerakan shalat kita diajarkan untuk sabar, jangan
buru-buru, selesaikan dulu yang satu baru berpindah ke yang lain Faidza
faraghtafanshab. Begitu juga dalam sikap kita terhadap menghadapi sebuah
masalah. Jangan semuanya ditumpuk dan terfikirkan sehingga menjadi bom waktu
yang siap meledak dan membuat stres.
Allah sudah mengaskan dalam
kalamNya, hidup orang yang beriman akan selalu diuji, Allah hanya akan memberikan
dua hal terhadap orang beriman yaitu bashiran (kabar gembira) dan nadziran
(peringatan). Keduanya dibungkus dalam bentuk ujian, dan berbagai macam hal
ujian yang diterima setiap mu’min berbeda-beda sesuai dengan batas kemampuannya
(laa yukallifullah nafsan illa wus’aha). Tahu kisah sang budak hitam
legam Bilal bin Rabbah? Allah memberikan ujian kepadanya berupa ancaman nyawa.
Pilihan hanya dua, tetap beriman kepada yang ahad atau hidup kembali menjadi
budak, dan Bilal memilih tetap beriman dengan penuh kesabarannya menerima
segala siksaan yang diberikan terhadap dirinya, berupa himpitan batu besar di
dadanya dalam terik panas yang menyengat. Kesabarannya dalam menerima ujian
keimanan itu membuahkan hasil, Allah mengirimkan Abu Bakar untuk
membebaskannya. Apakah Bilal tau, dia akan terbebas? tentu tidak! yang dia tau,
jika dia bersabar maka pertolongan Allah itu pasti.
Dahulu, pengikut rasulullah Muhammad
juga ditimpa ujian yang begitu berat, pemboikotan yang dilakukan kafir Quraisy
membuat kaum rasulullah Muhammad menahan lapar berhari-hari. Allah ingin
menguji keimanan mereka dengan keadaan ini, apakah tetap beriman atau kembali
kafir. Mendengar kisah ini aku teringat sebuah ayat yang sedikit menggambarkan
keadaan tersebut.
Malu rasanya, jika diri mengeluh hanya karena Allah tidak
menitipkan rizki berupa uang dalam sehari, padahal rizki dari Allah bukan hanya
masalah uang atau materi tapi lebih dari itu, dengan masih diberikan kesehatan,
mata melihat dengan sempurna, telinga mendengar dengan baik, mulut berbicara
begitu lancar hingga nafas yang masih berhembus menikmati oksigen tanpa harus
membayar mahal. Ayat di atas benar-benar harus menjadi cambuk dalam diri bahwa
orang terdahulu pun diuji sama halnya kita, namun kita terlalu sibuk mengeluh
sampai lupa untuk bersykur. Terlalu pandai mengeluh namun fakir dalam rasa
syukur, selalu melihat ke atas dalam dunia namun melihat kebawah dalam urusan
akhirat.
Surat
Al-Baqarah:214 , setidaknya menjadi pecutan bagi diri sejauh mana kita sudah
diuji? Meningkatkah iman kita setelah diuji? Kita ini memang lucu, selalu
berharap surga namun menempuh jalan neraka. Selalu mengharap surga namun tak
mau menerima ujian berupa kemelaratan, kesengsaraan (kelaparan, jauh dari
keluarga) dan diguncang dengan berbagai macam cobaan yang lainnya. ketika
ditinggal oleh orang terkasih (ibu/bapak/kakak/sanak saudara), begitu mudahnya
kamu menunjuk kambing hitam dan berkata “Allah begitu kejam terhadapku, kenapa
harus ayahku yang Kau ambil?”, lalu meronta bahkan mengurung diri. Sungguh,
jika ini yang dilakukan sangat tidak mencerminkan orang yang beriman. Bukankah
mukmin mengimani qadha dan qadar? Kenapa selalu lupa dengan rukun iman yang
ini?
Selama
nafas berhembus dan jiwa masih menyatu dengan raga, selama itu pula ujian demi
ujian akan selalu hadir bagi mereka yang beriman. Kisah-kisah orang terdahulu
harusnya menjadi pecutan bagi diri untuk selalu bersabar dan bersyukur sehingga
menjadi ahli hikmah. Al-qur’an mengabadikan kisah sang ahli hikmah ini, dan
disimpan dalam susunan urutan surat yang ketiga setelah Al-Baqarah yaitu surat
Ali ‘imran. Begitu istimewanya hingga Allah SWT memberikan hadiah spesial dan
menjadikan namanya sebagai salah satu surat dalam Al-Qur’an.
Jika
kita ingin mengeluh, tahan... tarik nafas dalam-dalam kemudian hembuskan
(lakukan hingga diri mulai merasa tenang), dan beristighfarlah memohon ampun
kepada Allah. Jangan menjadi hamba yang cengeng!, baru diuji dengan tidak
mendapat pekerjaan selama berbulan-bulan sudah putus asa kemudian memilih jalan
pintas nikah aja deh (celotehan ini biasa keluar dari mulut kaum hawa) terserah
calonnya seperti apa. Duh... sayang sekali, harusnya kita bermuhasabah diri,
bukan berputus asa. Diuji putus cinta dengan sang pacar, dengan gampangnya
mengambil jalan pintas bunuh diri, katanya aku tak bisa hidup tanpamu (prett...).
Jika demikian, dimana kedudukan Allah yang maha menghidupkan? Ah, esmeralda!
Kamu terlalu picik dalam berfikir dan mengambil keputusan. Padahal, dengan
kejadian putus cinta tadi, Allah ingin memberitahukan bahwa tidak ada cinta
yang haqiqi kecuali hanya kepadaNya, dan Allah ingin hambanya kembali kepadaNya.
Mulai
detik ini, berubahlah menjadi hamba yang lebih ta’at dan selalu mengingat
Allah, agar kita menjadi hamba yang pandai bersabar dan bersyukur. Mencoba
untuk menjadi hamba yang ahli hikmah, memandang segala masalah dari sudut
pandang yang berbeda. Menjadi hamba yang bersabar tiada batas bersyukur tanpa
nanti.
0 komentar
Terima kasih sudah membaca postingan ini semoga bermanfaat :)