Aku adalah sepasang sandal yang sangat beruntung juga Bahagia. Kini usiaku sudah 5 tahun dari kepemilikan seorang laki-laki bernama Soleh. Sesuai dengan namanya, perangai dan perilakunya juga mencerminkannya.
Aku dibeli olehnya dengan harga 30.000 rupiah dengan uang hasil markir. Ya, Soleh adalah salah seorang tukang parkir di salah satu pasar. Dia datang ke pasar sejak matahari sudah mulai terbit setinggi tombak dan pulang ketika matahari sudah mulai berotasi dan bumi nampak gelap.
Setiap azan berkumandang Soleh selalu meninggalkan lahan parkir untuk melakukan solat berjamaah di masjid yang jaraknya hanya 100 meter dari lahan parkir. Aku telah lama memperhatikannya hingga akhirnya aku dibeli menggantikan sandalnya yang sudah tidak layak lagi dijadikan alas kaki.
Semenjak saat itu, aku adalah teman setianya. Aku selalu mengikuti langkahnya ke mana pun dan aku menjadi saksi atas apa saja yang dilakukannya.
Seringkali aku diajaknya singgah di masjid mana pun yang bisa disinggahi di sepanjang perjalanannya dari rumah menuju tempat parkir. Karena jarak tempuhnya cukup jauh, sehingga Soleh memutuskan untuk singgah sekedar merilekskan otot kaki yang kemudian kembali melangkah ketika dirasa sudah lebih baik.
Meski demikian tak pernah sedikit pun mulutnya mengeluarkan kata-kata keluhan. Meski peluh keringat seringkali membasahi kaos yang dipakainya. Dia pun tak lupa selalu membawa tas ransel yang berisikan baju koko serta sarung yang akan dikenakannya saat solat.
Bertahun tahun aku selalu melihat pemandangan yang sama, hingga akhirnya pada suatu hari keadaan mulai berubah saat Soleh diberi hadiah oleh salah seorang pengguna mobil Lamborghini atas jasanya yang menyelamatkan mobil tersebut dari upaya pembobolan.
Soleh mendapat imbalan uang yang cukup banyak. Aku pun tidak tahu berapa nilainya. Aku hanya mendengar dia berkata
“Wah, kalau begini ceritanya saya bisa mulai usaha nih. Tidak perlu repot-repot lagi menjadi tukang parkir. Panas-panasan, bau, terlebih saat Ramadhan tiba. Sungguh rasanya antara kuat dan tidak menjalankan ibadah puasa.”
Aku heran, kenapa Soleh tidak mengucapkan sukur seperti yang biasa dilakukannya saat usai melakukan pekerjaan menjadi tukang parkir. Yang kemudian uang itu tak lupa disisihkan untuk masuk ke dalam kotak amal masjid atau sekedar berbagi ke pengemis dan pemulung.
Ini adalah tahun kelima aku menemani Soleh menjalani puasa Ramadhan. Namun, Ramadhan kali ini memang berbeda. Aku tidak lagi menemani Soleh di saat matahari terik dan angin yang menusuk lagi.
Ramadhan kali ini Soleh mulai mencoba peruntungan dengan berjualan kolak. Makanan khas untuk berbuka puasa yang seringkali diburu oleh banyak manusia menjelang azan maghrib tiba.
Di hari pertama berjualan Soleh mendapat keuntungan di luar dugaan. Kolaknya laris tak tersisa. Kolak buatannya dipuji oleh banyak pembeli. Soleh semakin bersemangat dan keesokan harinya membuat kolak dengan porsi yang lebih dari biasanya. Penjualannya selalu bertambah dan bertambah setiap harinya.
Di saat penjualan Soleh semakin hari semakin baik, di saat itulah aku mulai merasakan sedih. Aku sudah jarang menemaninya ke masjid. Aku hanya menemaninya berbelanja bahan untuk pembuatan kolak.
Di Ramadhan hari ke-10, tubuh Soleh sudah tidak terlihat lagi dijajaran saf solat berjamaah. Saat tetangganya mulai menanyakannya dia hanya menjawab sibuk.
Aku pun mulai khawatir. Karena tubuhku yang sudah mulai menipis, Soleh akan segera membuangku. Meskipun aku masih layak untuk dipakai.
***
Di suatu sore,
“Pak Soleh, mau kolaknya 2 bungkus, ya.” ujar Pak Diwan yang tidak lain adalah tetangga pak Soleh.
“Siap, pak!. Dua aja, nih?”
“Iya, dua saja cukup. Oh iya, pak Soleh, kok, saya beberapa hari ini tidak melihat di masjid. Ke mana?”
“Ah, iya, pak. Saya tarawihan di rumah, pak.”
“Oh begitu, ya sudah pak ini uangnya. Terima kasih, ya.”
“Iya, sama-sama.”
Memang, awalnya Soleh menunaikan solat tarawih di rumah, tetapi hari ini dia begitu kelelahan. Solat Maghrib, isya dan tarawih pun terlewat. Bahkan selepas sahur Soleh Kembali terlelap.
Keesokan harinya, Soleh mulai membeli kendaraan sepeda motor secara tunai. Kemudian mulai mengambil sebuah rumah di salah satu perumahan yang tidak jauh dari rumah kontrakannya. Kemudian saat itulah aku di buang.
“Beli motor, sudah. Nyicil rumah, sudah. Malu dong, kalau saya masih pakai sandal murahan seperti ini. nanti dikira gembel lagi.”
Seperti yang sudah aku duga. Aku akan di buang olehnya. Soleh sudah tidak seperti namanya lagi. Aku pun hanya bisa pasrah.
“Saya buang ke mana ya sandal butut ini” ujar Soleh.
Di saat yang bersamaan ada seorang pemulung yang melintasinya. Dia pun memanggil pemulung itu.
“Hei, bocah! Sini!.” teriak Soleh kepada pemulung.
“Iya, pak. Ada apa.”
“Ini, saya punya sandal butut. Kamu mau? Daripada kamu nggak pake sandal, kan.”
“Wah, boleh, pak. Saya mau.”
“Nih.”
Soleh pun melepaskanku dengan begitu kasar. Aku heran kenapa manusia bisa berubah secepat itu. Bukankah Tuhan memberikan rezeki kepada hambanya supaya mereka lebih bersyukur. Tetapi kenapa begitu takabur ketika memiliki rezeki yang melimpah. Bahkan berterima kasih kepada Tuhannya pun tidak.
Apalah artinya aku, sepasang sandal tua yang dibuang oleh empunya bukan saat tidak layak dipakai lagi. Tetapi dicampakkan saat berlimpah rezeki.