"Aku titipkan beberapa hal kepada anak-anak.
Pertama, Masjid kecil di salah satu sudut kota yang menjadi rumah kedua bagi kami.
Kedua, kesederhanaan yang harus selalu dijaga, karena kemewahan selalu membawa kita pada kelalaian., .... "
Kutipan di atas adalah sebuah kutipan yang berasal dari sebuah buku karya dari kakak online yang bernama Jihan Mawaddah. Pesan pertama yang dituliskan mengingatkan saya kepada sebuah pesan yang pernah diucapkan oleh seorang wali yang cukup tersohor. Beliau adalah Sunan Gunung Djati, waliyullah yang terkenal dengan penyebaran islam di Cirebon. Pesan tersebut berbunyi "ingsun titip tajug lan fakir miskin" artinya saya titip musola dan fakir miskin. Pesan yang hampir mirip dengan pesan pertama dalam kutipan di atas.
Awalnya, saya tidak ingin membaca buku tersebut. Buku dengan identitas :
Judul : Narasi Gurunda
Penulis : Jihan Mawaddah
ISBN : 978-623-92548-1-0
Cetakan Pertama : Desember 2019
Tebal halaman : 159 hlmn
Penerbit : Wadah Baca Masyarakat Sanggar Caraka
Kenapa saya tidak ingin membaca buku tersebut? Jika jawabannya bukunya jelek, bukan!. Bukan karena buku itu jelek melainkan melihat testimoni dari yang sudah membaca kebanyakan berkomentar melow. Kemudian dari cover bukunya saja sudah menampakkan wajah seorang pria yang berwibawa.
Melihat covernya saja otak seketika menyimpulkan, pasti di dalamnya kisah seorang ayah.
Itulah alasan tidak ingin membaca buku tersebut. Sosok ayah bagi saya selalu terngiang memori kesedihan yang begitu dalam.
Sayangnya, jiwa dalam diri yang lain meronta. Penasaran dengan isinya. Akhirnya, setelah melakukan percakapan dengan penulisnya langsung saya beranikan diri untuk membacanya.
Ternyata, di luar dari ekspektasi saya tentang buku ini. Buku yang saya pikir akan menitihkan air mata yang begitu deras ternyata tidak. Justru seolah menampar-nampar saya tentang bagaimana seharusnya menerima takdir tanpa berkeluh kesah. Tentang bagaimana perjalanan hidup seorang lelaki dengan cita-citanya dalam kehidupan yang serba kekurangan tetapi masih menggantungkan sepenuh hidupnya kepada sang maha kuasa. Berpasrah kepadaNya dalam kondisi apapun.
Membaca buku Narasi Gurunda seperti sedang melihat atau menonton sebuah film kehidupan yang sebenarnya banyak yang mengalami hal tersebut. Sayangnya, kita selalu merasa menjadi manusia paling menderita diantara manusia lain ketika berada pada titik terendah kehidupan. Padahal ada puluhan, ratusan atau bahkan jutaan manusia yang mengalaminya.
Bingung rasanya ingin menuliskan apalagi, buku yang sangat cocok untuk meresapi diri. Terimakasih mbak Jihan. Sayangnya, ada kekurangan bagi saya terhadap buku tersebut. Yaitu, kurang panjang ๐. Ketika membaca lembar terakhir "kok udah" padahal kan, rame. Ditunggu kisah lanjutannya mbak Ji. Saya berpikir demikian terhadap buku tersebut. ๐๐๐
Salam hangat,
Maftuha
2 komentar
terimakasih Nok, iya nih pada minta bikin sekuel. InsyaAllah mudah-mudahan bisaa
ReplyDeleteSama kak, pas liat cover bukunya kak Jihan, seketika kepala langsung mengira kalau orang laki-laki itu adalah seorang ayah yang bukan sembarang ayah. Ah... Ulasannya membantu banget, makasih kak
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca postingan ini semoga bermanfaat :)