Putri Salju

Kelas XII ( SMA kelas 3), seperti kelas penentu bagi kehidupan selanjutnya. Diposisi ini, kita sudah dianggap lebih dewasa untuk meilih. Kita mau melanjutkan masuk dunia kerja, atau lanjutka study. Kuliah hingga sarjana bahkan sampai doktor. Itu semua kita yang menentukan.
Begitu juga aku, setelah aku yakin dan mantap memiliki tujuan yang harus aku kejar. Secercah harapan meski kecil, itu begitu berarti. Yakinlah peluang sekecil apapun jangan kau sia-siakan.
Saat itu, aku sangat tertarik dengan dunia psikologi. Mengamati beberapa teman, dan bahkan mencoba masuk ke dunia mereka. Bagiku, itu motivasi secara tidak langsung yang aku dapat. Terlebih saat itu, aku juga begitu tertarik dengan seminar-seminar motivasi. 
Setiap aku hadir di seminar itu, aku juga ikut membayangkan. Bagaimana jika aku yang ada di depan sana. Aku ingin menjadi motivator!. Yes, akhirnya aku punya cita-cita. Di saat itu juga aku rajin ke toko buku dan membaca. Diskusi dengan teman yang juga menyukai hal yang sama. Hidupku menjadi lebih bermakna. 
Tapi, benar saja. Ketika kita akan berubah ke arah yang lebih baik satu tingkat di atasnya. Disitulah ujian akan datang menyapa. Aku terkena virus merah jambu yang sengaja ditularkan oleh tema satu gengku. Virus ini membahayakan jika kita tidak bisa melawan dengan iman dan ilmu. Beruntungnya aku punya penangkal itu meski tidak begitu ampuh tapi bisa sedikit menjinakkannya. 
Tahun 2011, adalah tahun yang mengantarkanku keluar dari yang namanya kampung. Menuju kota besar dengan segala ke-wah-an yang ada. Tepat di tahun ini, tuhan begitu baik padaku. Sehingga aku di terima di salah satu universitas yang ada di Indonesia. 
Putri salju. Pasti yang kalian ingat adalah kisah dongeng. Tapi ini bukan kisah dongeng, ini kisah nyata. Putri salju (putri salah jurusan) adalah sebuah singkatan yang aku dapar dari seorang kakak tingkat yang juga pernah memberikan motivasi kepadaku. Lucu memang, aku dijuluki putri salju tapi itu memang benar adanya. 
Aku ingin menjadi seorang motivator atau psikolog. Tapi, aku tidak pernah mendaftar ke jurusan itu. Kata temanku, jika kita mau diterima di universitas yang terkenal kita harus memilih jursan yang sepi peminatnya. Guruku juga memberikan saran yang sama. 
Dulu, saat pendaftaran masuk perguruan tinggi, aku tidak begitu paham dan mengerti alurnya. Sehingga kupasrahkan semuanya bagaimana yang terbaik menurut guruku dan temanku. Yang aku ingat sampai saat ini adalah rumus 50:50. Salah seorang guru BK memasuki kelasku dan memberikan sebuah pencerahan bahwa kita sudah memiliki 50% untuk mengantongi lulus di perguruan tinggi. Dan kita harus meraih 50% sisanya. Dan itu disebut sebagai faktor x untuk penentu. Faktor x itu bisa macam-macam. Ada yang dari usaha karena belajar, ada yang dari keberuntungan (berarti rajin ngado'a), ada juga yang berasal dari keduanya. Kita harus memaksimalkan faktor x itu. 
Dan apa yanh diucapkan oleh guruku benar adanya. Dengan otak yang pas-pasan aku berhasil masuk perguruan tinggi negri dengan bermodalkan do'a orang tua, belajar dengan meminjam buku teman, dan kuserahkan semua hasilnya kepada Tuhanku. Dan aku diterima di jurusan pendidikan teknik sipil dengan program studi pendidikan teknik bangunan. 
Jangan bertanya tentang bagaimana rasanya ketika mendengar dan melihat hasil pengumuman itu. Jika teman-temanku tersenyum lebar dan melompat-lompatkan badannya dan berteriak "yes!!! Aku di terimaaaaa". Aku, tidak demikian. Aku hanya tersenyum simpul sambil berfikir. Ini pelajaran model apa? Apakah nanti aku akan bekerja di kelurahan desa? Ambil jangan ya? Tapi sayang, beasiswa. Ini adalah sebuah dilema lebih dari ketika disuruh memilih dua laki-laki secara bersamaan mengatakan cinta (eaaa... Jangan baper!) :D

6 komentar

Terima kasih sudah membaca postingan ini semoga bermanfaat :)