Bukan Cita-Cita

Hari ini, adalah hari pertama aku menulis kembali di blog-ku setelah kelulusan dan masuk kelas lanjutan non fiksi. 
Kali ini, aku ingin menceritakan tentang keresahan-keresahan menjadi tenaga pendidik. Dari awal aku menginjakkan kaki di dunia pendidikan ingin sekali rasanya aku bercerita secara detail tentang apapun yang ada didalamnya.
Sambil menyelam minum air! Begitu pepatah yang pernah aku dengar. Untuk menunaikan challenge setiap hari dan menuliskan di blog. Tidak mudah jika aku harus mencari-cari bahannya. Dilihat dari segudang kegiatan yang ada (so sibuk ceritanya hehe). Jadi anggaplah ini adalah dairy harianku yang aku bagikan ke pembaca.
Menjadi seorang guru, bukanlah cita-citaku dulu. Sejak kecil, aku tak pernah bermimpi tentang apapun. Mungkin kalau difikir-fikir saya memang berbeda dengan mereka pada umumnya. Getirnya kehidupan yang harus aku lalui, membuatku berhenti untuk berandai-andai atau menghayalkan sebuah masa yang belum pasti aku lalui.
Semenjak aku tau bahwa kematian itu yang paling dekat dengan manusia, semenjak itu pula aku hanya berfikir bagaimana agar nanti ketika aku mati dalam keadaan baik. Dan ini yang harus aku alami ketika aku duduk di bangku sekolah dasar kelas 5.
Dulu, ketika aku masih usia 5-8 tahunan. Mungkin aku pernah mengatakan ingin menjadi apa. Tapi, memoriku sepertinya sudah mendeletnya secara permanen ketika kesedihan itu menerpa kehidupanku. Aku tidak ingat sama sekali aku pernah punya cita-cita. Ketika lulus sekolah dasar, dan saat itu semua teman-temanku bergembira dengan menceritakan sekolah lanjutan mereka dengan begitu lantang dan penuh percaya diri. Aku hanya sibuk dengan pikiranku yang dipaksa harus seperti orang dewasa yang mampu mengambil keputusan.
Saat itu, aku dibombardir pertanyaan oleh guru wali kelasku. Karena beliau ingin memastikanku mendapatkan pendidikan yang layak dijenjang selanjutnya. Di sisi lain, aku diberikan tawaran untuk hidup dan tinggal bersama saudara dari keluarga ibuku, dibesarkan dan disekolahkan oleh mereka. Anak usia 11th harus memilih sesuatu hal yang bukan kapasitasnya. 
Akhirnya, aku memutuskan untuk tinggal bersama saudara dan harus meninggalkan keluargaku tercinta. Dalam fikirku, tak mengapa aku jauh dari mereka. Asalkan aku bisa sekolah tanpa harus membagi beban kehidupan kepada ibu yang harus banting tulang seorang diri. Menghidupi 6 anaknya yang lain dan hanya dibantu oleh 1 anak sulungnya. Kutinggalkan juga semua nasihat dan saran yang diberikan oleh wali kelasku. Kutinggalkan juga semua teman-teman terbaikku. Dan aku berubah menjadi orang asing. Hidup bersama orang asing di tempat yang masih asing pula.
Dalam ekspektasiku, aku akan disekolahkan di sekolah favorit di lingkungan saudaraku. Karena melihat dia adalah orang kaya menurutku. Tapi ternyata, ekspektasi tak pernah seindah reality. Aku hanya disekolahkan di sekolah swasta yang hanya terdapat dua kelas setiap jenjangnya. Kondisi sekolahnya biasa saja, hanya ada sebidang halaman yang tersisa dari lahan bangunan sekolah yang dibangun mengitari halaman kosong tersebut. Jika pelajaran olahraga, kami terpaksa harus keluar sekolah dan bermain di lapang milik desa sekitar. Tapi bagiku, itu semua bukan sebuah soal yang harus diperhatikan. Hanya sedikit rasa kecewa. Bagiku, belajar di manapun, tak mengapa. Asal kita sungguh-sungguh. Kita pasti akan menjadi anak yang cerdas (gaya banget kan? Hihihi).
Kau tau anak ayam yang kehilangan induknya?
Pasti sang anak tak ada hentinya berkeak memanggil dan mencari sang induk bukan?. Nah, persis! Itu yang aku rasakan ketika harus meninggalkan rumah, terpisah dari ibu, kakak, dan adik semata wayang. Setiap hari kelopak mata selalu banjir badai. Gerak tubuh terbatas, mulut yang terbiasa bercerita hanya mengeluarkan beberapa kata saja dalam sehari.
Percayalah, meninggalkan atau ditinggalkan adalah rasa jamu yang terbuat dari buah pace (mengkudu). 

4 komentar

  1. Tolak ukur profesi kita itu mungkin bisa dilihat dari kebermanfaatannya. Menurutku sih. Nggak ads yang hina dari tiap profesi. Tinggal tujuannya. Moga cita-citamu tercapai ya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. hee... iya ka emang gak ada yang hina kok.

      Delete
  2. Wah, semangat ya, Kak... entah mau berkata apa, yang pasti perjuangan Kakak sungguh luar biasa. Salut... 🤗🥰

    ReplyDelete
    Replies
    1. waaahhh makasih bnyak kaka. makasih udah mampir

      Delete

Terima kasih sudah membaca postingan ini semoga bermanfaat :)