Malin kundang, siapa yang tidak tau tentang kisah ini? Anak
durhaka yang dihukum oleh semesta karena sumpah serapah ibunya yang mengutuk
dia menjadi Batu. Tapi, siapa yang mengira jika si Malin adalah benar-benar
anak yang sholeh dan berbakti kepada orang tuanya.
Dahulu, di daerah pesisir pantai hiduplah satu keluarga miskin
yang memilki anak bernama Malin, ayahnya bekerja ikut pedagang-pedagang kapal
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Malin anak yang sangat berbakti kepada
orang tuanya, setiap hari dia selalu membantu pekerjaan sang ibu, sehingga ibu
sangat sayang kepada anaknya yang semata wayang ini.
Suatu hari, ketika ayah Malin pergi bersama para pedagang
berlayar. Sang ayah tak kujnjung tiba dan pulang.
“Mak, kenapa abah belum pulang?” tanya Malin kepada ibunya.
“sabar, mungkin sebentar lagi nak” ibu mencoba menenangkan
Malin
Hari-hari berlalu, tanda kedatangan ayah Malin tak kunjung
tiba. Mereka harus merelakan kepergian sang ayah, dan harus melanjutkan
kehidupan berdua. Bertahun-tahun lamanya ibu harus membesarkan Malin seorang
diri, Malin sangat kasihan melihat ibunya yang selalu bekerja dan membanting
tulang seoang diri. Malin sudah mulai dewasa, timbullah keinginan dalam dirinya
untuk pergi merantau dan kembali dengan memabwa harta yang banyak, agar ibunya
tak perlu lagi bekerja. Sejak lama, Malin sudah membantu ibunya dengan menjadi
seorang kuli panggul setiap ada kapal yang berlabuh.
Pada suatu hari, ada sebuah kapal megah yang berlabuh, dan
seperti biasa Malin menghampiri kapal tersebut dan menjadi kuli panggul. Melihat
Malin yang begitu rajin dan semangat, sang nahkoda kapal tertarik dengan si Malin
dan berniat mengajak Malin pergi berlayar dan bekerja di kapalnya.
“nak, siapa namamu?” tanya sang nahkoda kepada Malin
“Malin, pak”
“saya lihat, kamu pekerja keras. Kamu mau ikut bekerja
bersama saya?”
Mendengar perkataan itu, malin sangat bahagia dan merasa itu
adalah jalannya untuk meraih mimpi yang selama ini dia idamkan.
“hai anak muda! Mau tidak?” tegur sang nahkoda
“mau pak” segera malin sadar dari lamunannya
“tapi,,,”
“tapi kenapa nak?”
“saya harus pamit dan izin terlebih dahulu kepada mamak
saya”
“silahkan, saya tunggu”
Malin bergegas pulang untuk meminta izin kepada mamaknya.
Berharap mamak memberikan izin kepadanya untuk pergi kerja berlayar mengarungi
samudra.
“maaakkk.... mamak..... maaaakkk.....” teriak Malin dari
kejauhan
Sang mamak segera keluar dari rumah
“iyo, ada apa nak?” masih jauh kau sudah teriak-teriak
“mak, Malin mau minta izin” sambil nafas terengah-engah
“tenang dulu nak, tarik nafasmu dulu. Kau mau minta izin
apa?” tanya mamak
“Malin mau izin, bekerja berlayar ikut kapal megah yang baru
saja berlabuh”.
Sang mamak kaget, tak menyangka anaknya ingin pergi
meninggalkannya sebatang kara, seorang diri. Raut muka mamak berubah menjadi
sedu, genangan air mata mulai mengumpul.
“tega kau nak, mau meninggalkan mamak sendirian?”
“mak, Malin hanya ingin bekerja. Supaya kehidupan kita tidak
seperti ini terus” bujuk Malin kepada mamaknya.
“biarlah keadaan kita seperti ini nak, asal mamak selalu
bersamamu”. Air mata mamak tak tertahankan lagi. Menetes membasahi pipi.
“mak, Malin janji akan pulang lagi mak. Malin akan menjadi
kaya raya dan membawa harta berlimpah untuk mamak. Izinkan malin pergi” Malin
terus memohon
Akhirnya, mamak mengizinkan Malin untuk pergi merantau,
meninggalkannya sebatang kara dalam gubuk sederhana.
“baiklah nak, mamak izinkan... jaga baik-baik dirimu disana.
Mamak akan selalu mendo’akanmu”
Malin langsung memeluk sang mamak begitu erat dan bergegas
masuk ke dalam rumah untuk merapihkan perbekalan seadanya. Setelah semuanya
siap, Malin pamit kepada mamaknya.
“mak, Malin pergi dulu” menyodorkan tangan untuk bersalaman
dan memeluk mamak.
“jaga diri nak, jangan pernah tinggalkan sholat” pesan mamak
terakhir kepada Malin.
“iya mak”, Malin menganggukkan kepala tanda dia paham akan
pesan dan nasihat mamak.
Derap langkah kaki
malin pergi meninggalkan sang mamak, perlahan namun pasti wujud diri Malin
semakin tak nampak dari mata mamak.
“Maaaaaliiiiiinnnnnnn...”, teriak mamak dengan isak tangis
mengiringi kepergian sang anak tersayang. Tapi, teriakan mamak percuma. Malin
sudah pergi dari pandangan.
***
Malin sangat senang bisa bekerja di kapal seperti yang di
idamkannya dulu, singgah di berbagai tempat dan mengarungi samudra lepas. Malin
sangat bersyukur atas apa yang sudah dia peroleh saat ini. Dia selalu mengingat
pesan-pesan mamaknya terutama sholatnya. Melihat tingak laku Malin, sang
nahkoda bertambah kagum dan bangga dengan Malin. Setelah beberapa tahun
berlalu, Malin semakin bertumbuh menjadi pemuda dewasa yang tampan dan sholeh.
Sang nahkoda pun memberikan hadiah sebuah kapal untuk Malin. Malin menjadi
pemuda yang sukses. Dagangannya selalu habis dan bertambah setiap harinya.
***
Suatu hari, ketika Malin sedang singgah di sebuah pesisir
pantai, Malin melihat seorang wanita yang cantik jelita, hingga mengalihkan
perhatian Malin. Penasaran dengan wanita itu, Malin segera bergegas mengikuti
langkah kaki wanita tersebut. Langkah kakinya mengantarkan dia ke sebuah istana
yang begitu mewah dan indah. Ternyata wanita yang dia ikuti adalah anak dari
seorang raja.
Malin segera mencari cara bagaimana dia bisa bekenalan
dengan wanita itu, bahkan bisa mempersuntingnya. Setelah sekian lama dia
merenung akhirnya dia menemukan cara supaya bisa masuk ke dalam istana dan
berkenalan dengan sang putri.
Malin mencoba menawarkan dagangannya kepada sang raja dengan
cara yang begitu elegan, sehingga membuat sang raja kagum kepada Malin. Sang
raja begitu bahagia melihat anak muda yang gigih dan semangat dalam bekerja.
Terlebih pemuda itu sangat tampan. Hubungan raja dan Malin kian hari kian
dekat, tidak hanya masalah perdagangan saja yang mereka bicarakan jika mereka
berjumpa untuk bertransaksi. Namun, masalah pribadi juga.
“Malin, dimana keluargamu?” tiba-tiba sang raja bertanya.
Malin kaget, dia bingung harus menjawab jujur atau
berbohong. Karena dia memilik maksud ingin mempersunting putrinya. Dalam hati Malin
bergumam apakah sang raja akan menerimanya jika tau Malin adalah seorang anak
yatim yang telah meninggalkan kampung halaman sekian tahun lamanya.
“Malin?” tegur sang raja
“iya paduka?” Malin terbangun dari lamunannya
“Dimana keluargamu?” sang raja bertanya sekali lagi.
“saya yatim piatu
paduka”. Malin nekat berbohong demi tujuan awalnya tercapai terlebih dahulu.
Tak mengapa dia berbohong sedikit. Kelak dia akan menceritakan semuanya jika
tujuannya telah berhasil.
“kamu sudah menikah?” sang raja lanjut bertanya
“belum paduka” jawab malin singkat
“kalau begitu, maukah kau saya nikahkan dengan putriku?”
“mau paduka”
Hati Malin bahagia tiada terkira mendengar tawaran sang
raja. Tanpa pikir panjang, dia langsung menerima tawaran itu. Karena dia tau,
yang dimaksud putri sang raja adalah wanita yang di lihatnya waktu itu.
Beberapa hari sebelum menjelang pesta pernikahan tiba, Malin
dirundung rasa berdosa dan gelisah. Karena dia telah berbohong kepada paduka
perihal sang ibunya yang masih hidup di kampung sana. Malin bingung, apa yang
harus dia lakukan. Karena dia selalu melakukan sholat, akhirnya dia memohon
petunjuk kepada Tuhannya. Tepat satu malam sebelum hari pernikahan, Malin
mendapatkan petunjuk bahwa yang dilakukannya itu adalah dosa. Dia bermimpi
ibunya begitu murka dan mengutuknya menjadi batu.
Tepat di hari pernikahannya, sebelum pesta itu dimulai.
Malin memberanikan diri bertemu menghadapa paduka raja dan menceritakan tentang
ibunya, dia tidak ingin ibunya mengutuknya menjadi sebuah batu. Dia teringat
akan janjinya kepada sang ibu sebelum pergi.
“paduka, maaf. Izinkan saya berbicara”
“ada apa Malin?”
“ada sesuatu yang ingin saya sampaikan”
“apa itu?” sang raja begitu heran melihat raut wajah Malin
yang begitu tegang dan serius
“saya ragu”
“bicaralah nak, tenangkan fikiranmu”
“sejujurnya, saya bukan seorang yatim piatu. Saya hanya
yatim, ayah saya meninggal ketika berlayar. Sedangkan ibu saya masih hidup
sebatang kara di kampung sana. Saya belum pernah pulang menemui ibu saya
semenjak saya merantau” wajah Malin pucat pasi menceritakan kisah ini kepada
sang raja. Dia takut raja akan murka akan hal ini.
“bangunlah nak, tatap wajah saya”
Malin tak pernah menduga ternyata sang raja tidak murka
kepadanya.
“saya salut dengan kejujuranmu, kamu kira saya akan marah
dengan pengakuanmu ini? Tentu tidak!. saya sangat bersyukur akan mendapatkan
seorang menantu yang begitu tampan, mapan bahkan jujur seperti kamu nak. Saya
merestuimu”
Rona wajah gembira mulai nampak pada diri Malin, senyum
manis tipis dia kembangkan. Dada yang sedari sesak berubah menjadi lapang, lega
rasanya.
Pernikahan sang Malin begitu megah dan mewah, dihadiri para
saudagar-saudagar kaya raya.
Setahun berlalu dari pernikahannya, Malin mulai resah dan
ingin kembali ke kampung halamannya menemui sang ibu tercinta dan membawanya
hidup bersama.
“dinda, lusa kita balik kampung ya. Jemput ibu” ajak sang
Malin kepada istrinya
“iya kanda, dinda ikut kemana saja kanda pergi” jawab sang
istri.
***
Sementara di kampung halamannya, sang ibu Malin tiada
hentinya menanti kedatangan anak semata wayangnya. Setiap ada kapal yang
berlabuh, ibu selalu bergegas menghampirinya berharap itu adalah anaknya Malin
yang datang. Namun, hari silih berganti, hingga bertahun-tahun berlalu semua
yang dilakukannya sia-sia. Entah sudah berapa puluhan kapal yang dia hampiri,
tapi si Malin tak kunjung ada.
Tangis pilu selalu menemani hari-hari ibu Malin, tubuhnya
semakin renta, jalannya mulai tertatih, guratan kriput di wajah sangat nampak.
“Malin,, dimana kau nak... mamak rindu” setiap hari,
rintihan tangis dan kalimat ini yang keluar dari mulut mamak. Entah sudah
berapa liter air mata yang keluar untuk menaggisi anaknya Malin.
Hingga suatu hari, para penduduk tampak ramai berlari-lari
ke pelabuhan. Ibu Malin yang sudah renta dan sakit-sakitan bertanya kepada
salah seorang penduduk.
“ada apakah gerangan? Kenapa semua berlari?”
“ada kapal mewah yang sedang berlabuh” jawab penduduk
singkat dan berlari meninggalkan ibu Malin.
Mendengar hal itu, ibu Malin segera ikut berlari menuju
pelabuhan. Langkahnya begitu lemah dan tertatih-tatih.
Setelah sampai di pelabuhan, ibu Malin begitu takjub melihat
kapal yang megah dan mewah itu. Pemilik dari kapal itu seorang pemuda yang kaya
raya lengkap dengan pakian mewahnya. Terlihat banyak sekali orang-orang
berkumpul. Di atas kapal terlihat pemuda itu sedang membagi-bagikan uang kepada
mereka.
Betapa bahagianya ibu Malin, karena begitu dia melihat, di
sangat yakin bahwa pemuda gagah itu adalah anaknya. Dia dapat langsung
mengenalinya berkat tanda lahir yang dimiliki Malin.
Ibu bergegas naik ke kapal dan memeluk anaknya Malin.
“Malin,,, Malin anankku... akhirnya kau pulang nak”.
Malin belum melihat dengan jelas siapa tua renta yang
memluknya dari belakang itu. Segera Malin bangkit dan melihat siapa ibu renta
itu yang ternyata ibunya.
“Ibu.... oh ibu....” Malin langsung memeluk tubuh ibu renta
itu. Melepas kerinduan teramat dalam.
“ibu,, maafkan Malin bu, Malin baru pulang”
Sang ibu hanya menitihkan air mata bahagia sambil terus
menciumi dan memandangi anaknya itu.
“ibu, Malin sudah sukses. Malin sudah kaya raya bu...”
“bu,,, ada seseorang yang ingin Malin kenalkan kepada ibu”
“siapa nak?” jawab ibu singkat
“ini bu, wanita yang berdiri di
samping Malin adalah istri Malin bu, menantu ibu”
Segera istri Malin mengulurkan
tangan dan bersalaman dengan ibu Malin. Bertambah lagi kebahagiaan sang ibu
melihat anaknya sudah tumbuh dewasa dan sudah memiliki istri yang cantik
jelita.
“syukurlah nak,, akhirnya kau
pulang dengan selamat dan masih memingat ibumu, ibu sangat bangga padamu nak”.
Terbayar sudah penantian
bertahun-tahun sang ibu, dan mereka kembali hidup bersama serta bahagia.
(Kisah Malin kundang ini, sudah
di improvisasi oleh penulis. Dari pertemuan dengan sang putri hingga ending
ceritanya. Malin kundang yang durhaka dirubah menjadi anak yang sholeh. Mohon
maaf jika sedikit kurang berkenan. Sekian)
2 komentar
anak sholeh 😂 agak nahan ketawa juga
ReplyDeletegak mbayangkan klo ini jd sejarah versi asli...
Pasti jadi panutan mas wkwkwkwkwk
DeleteTerima kasih sudah membaca postingan ini semoga bermanfaat :)